Undang – Undang ITE
UU
ITE (Undang – undang Informasi dan
Transaksi Elektronik) adalah ketentuan
yang berlaku untuk setiap orang yang melakukan perbuatan hukum sebagaimana
diatur dalam Undang-Undang ini, baik yang berada di wilayah hukum Indonesia
maupun di luar wilayah hukum Indonesia, yang memiliki akibat hukum di wilayah
hukum Indonesia dan/atau di luar wilayah hukum Indonesia dan merugikan
kepentingan Indonesia.
RUU
ITE merupakan hasil kombinasi antara Rancangan Undang-Undang Teknologi
Informasi (RUU PTI) dirancang oleh pusat studi hukum teknologi informasi
Fakultas Hukum Universitas Padjajaran dan Rancangan Undang-Undang Tanda tangan
Digital dan Transaksi Elektronik oleh Lembaga Kajian Hukum Dan Teknologi UI.
Departemen
Komunikasi dan Informasi (Depkominfo) telah mengesahkan undang–undang baru
tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) atau cyberlaw-nya Indonesia
pada tanggal 25 maret 2008.
Cyberlaw
adalah aturan hukum atau legalitas yang mengatur semua kegiatan di internet
termasuk ganjaran bagi yang melanggarnya, meskipun di beberapa sisi ada yang
belum terlalu lugas dan juga ada yang sedikit terlewat.
Ada
pun Isi dari UU ITE secara garis besar sebagai berikut :
·
Tanda
tangan elektronik memiliki kekuatan hukum yang sama dengan tanda tangan
konvensional (tinta basah dan bermaterai). Sesuai dengan e-ASEAN Framework
Guidelines (pengakuan tanda tangan digital lintas batas).
·
Alat
bukti elektronik diakui seperti alat bukti lainnya yang diatur dalam KUHP.
·
UU
ITE berlaku untuk setiap orang yang melakukan perbuatan hukum, baik yang berada
di wilayah Indonesia maupun di luar Indonesia yang memiliki akibat hukum di
Indonesia.
·
Pengaturan
Nama domain dan Hak Kekayaan Intelektual.
·
pengakuan
informasi/dokumen elektronik sebagai alat bukti hukum yang sah (Pasal 5 &
Pasal 6 UU ITE);
·
tanda
tangan elektronik (Pasal 11 & Pasal 12 UU ITE);
·
penyelenggaraan
sertifikasi elektronik (certification authority, Pasal 13 & Pasal 14 UU ITE);
dan
·
penyelenggaraan
sistem elektronik (Pasal 15 & Pasal 16 UU ITE)
·
perbuatan
yang dilarang (cybercrimes). Beberapa cybercrimes yang diatur dalam UU ITE,
antara lain:
o
Pasal
27 (Asusila, Perjudian, Penghinaan, Pemerasan)
o
Pasal
28 (Berita Bohong dan Menyesatkan, Berita Kebencian dan Permusuhan)
o
Pasal
29 (Ancaman Kekerasan dan Menakut-nakuti)
o
Pasal
30 (Akses Komputer Pihak Lain Tanpa Izin, Cracking)
o
Pasal
31 (Penyadapan, Perubahan, Penghilangan Informasi)
o
Pasal
32 (Pemindahan, Perusakan dan Membuka Informasi Rahasia)
o
Pasal
33 (Virus?, Membuat Sistem Tidak Bekerja (DOS?))
o
Pasal
35 (Menjadikan Seolah Dokumen Otentik (phising?))
RUU
Perubahan UU ITE telah disahkan menjadi UU Nomor 19 Tahun 2016 tentang
Perubahan Atas UU ITE (25/11). Naskah Undang-Undang tersebut tercatat dalam
Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2016 Nomor 251 dan Tambahan Lembaran
Negara Nomor 5952.
Revisi
Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) resmi berlaku usai
melewati 30 hari sejak disahkan menjadi UU pada 27 Oktober 2016. Dan mulai
berlaku Senin (28/11/2016).
Ada
beberapa perubahan di UU ITE yang baru yaitu sebagai berikut:
1.
Untuk
menghindari multitafsir terhadap ketentuan larangan mendistribusikan,
mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik
bermuatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik pada ketentuan Pasal 27 ayat
(3), dilakukan 3 (tiga) perubahan sebagai berikut:
a.
Menambahkan
penjelasan atas istilah “mendistribusikan, mentransmisikan dan/atau membuat
dapat diaksesnya Informasi Elektronik”.
b.
Menegaskan
bahwa ketentuan tersebut adalah delik aduan bukan delik umum.
c.
Menegaskan
bahwa unsur pidana pada ketentuan tersebut mengacu pada ketentuan pencemaran
nama baik dan fitnah yang diatur dalam KUHP.
2.
Menurunkan
ancaman pidana pada 2 (dua) ketentuan pada pasal 29 sebagai berikut:
a.
Ancaman
pidana penghinaan dan/atau pencemaran nama baik diturunkan dari pidana penjara
paling lama 6 (enam) tahun menjadi paling lama 4 (tahun) dan/atau denda dari
paling banyak Rp 1 miliar menjadi paling banyak Rp 750 juta.
b.
Ancaman
pidana pengiriman informasi elektronik berisi ancaman kekerasan atau
menakut-nakuti dari pidana penjara paling lama 12 (dua belas) tahun menjadi
paling lama 4 (empat) tahun dan/atau denda dari paling banyak Rp 2 miliar menjadi
paling banyak Rp 750 juta.
3.
Melaksanakan
putusan Mahkamah Konstitusi terhadap 2 (dua) ketentuan sebagai berikut:
a.
Mengubah
ketentuan Pasal 31 ayat (4) yang semula mengamanatkan pengaturan tata cara
intersepsi atau penyadapan dalam Peraturan Pemerintah menjadi dalam
Undang-Undang.
b.
Menambahkan
penjelasan pada ketentuan Pasal 5 ayat (1) dan ayat (2) mengenai keberadaan
Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik sebagai alat bukti hukum yang
sah.
4.
Melakukan
sinkronisasi ketentuan hukum acara pada Pasal 43 ayat (5) dan ayat (6) dengan
ketentuan hukum acara pada KUHAP, sebagai berikut:
a.
Penggeledahan
dan/atau penyitaan yang semula harus mendapatkan izin Ketua Pengadilan Negeri
setempat, disesuaikan kembali dengan ketentuan KUHAP.
b.
Penangkapan
penahanan yang semula harus meminta penetapan Ketua Pengadilan Negeri setempat
dalam waktu 1×24 jam, disesuaikan kembali dengan ketentuan KUHAP.
5.
Memperkuat
peran Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) dalam UU ITE pada ketentuan Pasal 43
ayat (5):
a.
Kewenangan
membatasi atau memutuskan akses terkait dengan tindak pidana teknologi
informasi;
b.
Kewenangan
meminta informasi dari Penyelenggara Sistem Elektronik terkait tindak pidana
teknologi informasi.
6.
Menambahkan
ketentuan mengenai “right to be forgotten” atau “hak untuk dilupakan” pada
ketentuan Pasal 26, sebagai berikut:
a.
Setiap
Penyelenggara Sistem Elektronik wajib menghapus Informasi Elektronik yang tidak
relevan yang berada di bawah kendalinya atas permintaan orang yang bersangkutan
berdasarkan penetapan pengadilan.
b.
Setiap
Penyelenggara Sistem Elektronik wajib menyediakan mekanisme penghapusan
Informasi Elektronik yang sudah tidak relevan.
7.
Memperkuat
peran Pemerintah dalam memberikan perlindungan dari segala jenis gangguan
akibat penyalahgunaan informasi dan transaksi elektronik (Memberikan landasan
yang kuat bagi pemerintah untuk mencegah penyebarluasan konten negatif di
internet) dengan menyisipkan kewenangan tambahan pada ketentuan Pasal 40:
a.
Pemerintah
wajib melakukan pencegahan penyebarluasan Informasi Elektronik yang memiliki
muatan yang dilarang.
b.
Pemerintah
berwenang melakukan pemutusan akses dan/atau memerintahkan kepada Penyelenggara
Sistem Elektronik untuk melakukan pemutusan akses terhadap Informasi Elektronik
yang memiliki muatan yang melanggar hukum.
Prita Mulyasari adalah seorang ibu rumah tangga, mantan pasien
Rumah Sakit Omni Internasional Alam Sutra Tangerang. Saat dirawat di Rumah Sakit
tersebut Prita tidak mendapat kesembuhan namun penyakitnya malah bertambah
parah. Pihak rumah sakit tidak memberikan keterangan yang pasti mengenai
penyakit Prita, serta pihak Rumah Sakitpun tidak memberikan rekam medis yang
diperlukan oleh Prita. Kemudian Prita Mulyasari mengeluhkan pelayanan rumah
sakit tersebut melalui surat elektronik yang kemudian menyebar ke berbagai
mailing list di dunia maya. Akibatnya, pihak Rumah Sakit Omni Internasional
marah, dan merasa dicemarkan.
Lalu RS Omni International mengadukan Prita
Mulyasari secara pidana. Sebelumnya Prita Mulyasari sudah diputus bersalah
dalam pengadilan perdata. Dan waktu itupun Prita sempat ditahan di Lembaga
Pemasyarakatan Wanita Tangerang sejak 13 Mei 2009 karena dijerat pasal
pencemaran nama baik dengan menggunakan Undang-Undang Informasi dan Transaksi
Elektronik (UU ITE). Kasus ini kemudian banyak menyedot perhatian publik yang
berimbas dengan munculnya gerakan solidaritas “Koin Kepedulian untuk Prita”.
Pada tanggal 29 Desember 2009, Ibu Prita Mulyasari divonis Bebas oleh
Pengadilan Negeri Tangerang.
Contoh
kasus di atas merupakan contoh kasus mengenai pelanggaran Undang-Undang Nomor
11 pasal 27 ayat 3 tahun 2008 tentang UU ITE. Dalam pasal tersebut tertuliskan
bahwa: Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/ atau
mentransmisikan dan/ atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan
/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/ atau pencemaran
nama baik.
Sumber
:
Tidak ada komentar:
Posting Komentar