A. Ciri-ciri Pendidikan di Indonesia
Cara melaksanakan pendidikan di Indonesia sudah tentu tidak terlepas
dari tujuan pendidikan di Indonesia, sebab pendidikan Indonesia yang
dimaksud di sini ialah pendidikan yang dilakukan di bumi Indonesia untuk
kepentingan bangsa Indonesia.
Aspek ketuhanan sudah dikembangkan dengan banyak cara seperti melalui
pendidikan-pendidikan agama di sekolah maupun di perguruan tinggi,
melalui ceramah-ceramah agama di masyarakat, melalui kehidupan beragama
di asrama-asrama, lewat mimbar-mimbar agama dan ketuhanan di televisi,
melalui radio, surat kabar dan sebagainya. Bahan-bahan yang diserap
melalui media itu akan berintegrasi dalam rohani para siswa/mahasiswa.
Pengembangan pikiran sebagian besar dilakukan di sekolah-sekolah atau
perguruan-perguruan tinggi melalui bidang studi-bidang studi yang
mereka pelajari. Pikiran para siswa/mahasiswa diasah melalui pemecahan
soal-soal, pemecahan berbagai masalah, menganalisis sesuatu serta
menyimpulkannya.
B. Kualitas Pendidikan di Indonesia
Seperti yang telah kita ketahui, kualitas pendidikan di Indonesia
semakin memburuk. Hal ini terbukti dari kualitas guru, sarana belajar,
dan murid-muridnya. Guru-guru tentuya punya harapan terpendam yang tidak
dapat mereka sampaikan kepada siswanya. Memang, guru-guru saat ini
kurang kompeten. Banyak orang yang menjadi guru karena tidak diterima di
jurusan lain atau kekurangan dana. Kecuali guru-guru lama yang sudah
lama mendedikasikan dirinya menjadi guru. Selain berpengalaman mengajar
murid, mereka memiliki pengalaman yang dalam mengenai pelajaran yang
mereka ajarkan. Belum lagi masalah gaji guru. Jika fenomena ini
dibiarkan berlanjut, tidak lama lagi pendidikan di Indonesia akan hancur
mengingat banyak guru-guru berpengalaman yang pensiun.
Sarana pembelajaran juga turut menjadi faktor semakin terpuruknya
pendidikan di Indonesia, terutama bagi penduduk di daerah terbelakang.
Namun, bagi penduduk di daerah terbelakang tersebut, yang terpenting
adalah ilmu terapan yang benar-benar dipakai buat hidup dan kerja. Ada
banyak masalah yang menyebabkan mereka tidak belajar secara normal
seperti kebanyakan siswa pada umumnya, antara lain guru dan sekolah.
“Pendidikan ini menjadi tanggung jawab pemerintah sepenuhnya,” kata
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono usai rapat kabinet terbatas di Gedung
Depdiknas, Jl Jenderal Sudirman, Jakarta, Senin (12/3/2007).
Presiden memaparkan beberapa langkah yang akan dilakukan oleh
pemerintah dalam rangka meningkatkan kualitas pendidikan di Indonesia,
antara lain yaitu:
- · Langkah pertama yang akan dilakukan pemerintah, yakni meningkatkan akses terhadap masyarakat untuk bisa menikmati pendidikan di Indonesia. Tolak ukurnya dari angka partisipasi.
- · Langkah kedua, menghilangkan ketidakmerataan dalam akses pendidikan, seperti ketidakmerataan di desa dan kota, serta jender.
- · Langkah ketiga, meningkatkan mutu pendidikan dengan meningkatkan kualifikasi guru dan dosen, serta meningkatkan nilai rata-rata kelulusan dalam ujian nasional.
- · Langkah keempat, pemerintah akan menambah jumlah jenis pendidikan di bidang kompetensi atau profesi sekolah kejuruan. Untuk menyiapkan tenaga siap pakai yang dibutuhkan.
- · Langkah kelima, pemerintah berencana membangun infrastruktur seperti menambah jumlah komputer dan perpustakaan di sekolah-sekolah.
- · Langkah keenam, pemerintah juga meningkatkan anggaran pendidikan. Untuk tahun ini dianggarkan Rp 44 triliun.
- · Langkah ketujuh, adalah penggunaan teknologi informasi dalam aplikasi pendidikan.
- · Langkah terakhir, pembiayaan bagi masyarakat miskin untuk bisa menikmati fasilitas penddikan.
C. Penyebab Rendahnya Kualitas Pendidikan di Indonesia
Di bawah ini akan diuraikan beberapa penyebab rendahnya kualitas pendidikan di Indonesia secara umum, yaitu:
1. Efektifitas Pendidikan Di Indonesia
Pendidikan yang efektif adalah suatu pendidikan yang memungkinkan
peserta didik untuk dapat belajar dengan mudah, menyenangkan dan dapat
tercapai tujuan sesuai dengan yang diharapkan. Dengan demikian, pendidik
(dosen, guru, instruktur, dan trainer) dituntut untuk dapat
meningkatkan keefektifan pembelajaran agar pembelajaran tersebut dapat
berguna.
Efektifitas pendidikan di Indonesia sangat rendah. Setelah praktisi
pendidikan melakukan penelitian dan survey ke lapangan, salah satu
penyebabnya adalah tidak adanya tujuan pendidikan yang jelas sebelm
kegiatan pembelajaran dilaksanakan. Hal ini menyebabkan peserta didik
dan pendidik tidak tahu “goal” apa yang akan dihasilkan sehingga tidak
mempunyai gambaran yang jelas dalam proses pendidikan. Jelas hal ini
merupakan masalah terpenting jika kita menginginkan efektifitas
pengajaran. Bagaimana mungkin tujuan akan tercapai jika kita tidak tahu
apa tujuan kita.
Selama ini, banyak pendapat beranggapan bahwa pendidikan formal
dinilai hanya menjadi formalitas saja untuk membentuk sumber daya
manusia Indonesia. Tidak perduli bagaimana hasil pembelajaran formal
tersebut, yang terpenting adalah telah melaksanakan pendidikan di
jenjang yang tinggi dan dapat dianggap hebat oleh masyarakat. Anggapan
seperti itu jugalah yang menyebabkan efektifitas pengajaran di Indonesia
sangat rendah. Setiap orang mempunyai kelebihan dibidangnya
masing-masing dan diharapkan dapat mengambil pendidikaan sesuai bakat
dan minatnya bukan hanya untuk dianggap hebat oleh orang lain.
Dalam pendidikan di sekolah menegah misalnya, seseorang yang
mempunyai kelebihan dibidang sosial dan dipaksa mengikuti program studi
IPA akan menghasilkan efektifitas pengajaran yang lebih rendah jika
dibandingkan peserta didik yang mengikuti program studi yang sesuai
dengan bakat dan minatnya. Hal-hal sepeti itulah yang banyak terjadi di
Indonesia. Dan sayangnya masalah gengsi tidak kalah pentingnya dalam
menyebabkan rendahnya efektifitas pendidikan di Indonesia.
2. Efisiensi Pengajaran Di Indonesia
Efisien adalah bagaimana menghasilkan efektifitas dari suatu tujuan
dengan proses yang lebih ‘murah’. Dalam proses pendidikan akan jauh
lebih baik jika kita memperhitungkan untuk memperoleh hasil yang baik
tanpa melupakan proses yang baik pula. Hal-hal itu jugalah yang kurang
jika kita lihat pendidikan di Indonesia. Kita kurang mempertimbangkan
prosesnya, hanya bagaimana dapat meraih standar hasil yang telah
disepakati.
Beberapa masalah efisiensi pengajaran di dindonesia adalah mahalnya
biaya pendidikan, waktu yang digunakan dalam proses pendidikan, mutu
pegajar dan banyak hal lain yang menyebabkan kurang efisiennya proses
pendidikan di Indonesia. Yang juga berpengaruh dalam peningkatan sumber
daya manusia Indonesia yang lebih baik.
Masalah mahalnya biaya pendidikan di Indonesia sudah menjadi rahasia
umum bagi kita. Sebenarnya harga pendidikan di Indonesia relative lebih
randah jika kita bandingkan dengan Negara lain yang tidak mengambil
sitem free cost education. Namun mengapa kita menganggap
pendidikan di Indonesia cukup mahal? Hal itu tidak kami kemukakan di
sini jika penghasilan rakyat Indonesia cukup tinggi dan sepadan untuk
biaya pendidiakan.
Jika kita berbicara tentang biaya pendidikan, kita tidak hanya
berbicara tenang biaya sekolah, training, kursus atau lembaga pendidikan
formal atau informal lain yang dipilih, namun kita juga berbicara
tentang properti pendukung seperti buku, dan berbicara tentang biaya
transportasi yang ditempuh untuk dapat sampai ke lembaga pengajaran yang
kita pilih. Di sekolah dasar negeri, memang benar jika sudah
diberlakukan pembebasan biaya pengajaran, nemun peserta didik tidak
hanya itu saja, kebutuhan lainnya adalah buku teks pengajaran, alat
tulis, seragam dan lain sebagainya yang ketika kami survey, hal itu
diwajibkan oleh pendidik yang berssngkutan. Yang mengejutkanya lagi, ada
pendidik yang mewajibkan les kepada peserta didiknya, yang tentu dengan
bayaran untuk pendidik tersebut.
Selain masalah mahalnya biaya pendidikan di Indonesia, masalah
lainnya adalah waktu pengajaran. Dengan survey lapangan, dapat kita
lihat bahwa pendidikan tatap muka di Indonesia relative lebih lama jika
dibandingkan negara lain. Dalam pendidikan formal di sekolah menengah
misalnya, ada sekolah yang jadwal pengajarnnya perhari dimulai dari
pukul 07.00 dan diakhiri sampai pukul 16.00.. Hal tersebut jelas tidak
efisien, karena ketika kami amati lagi, peserta didik yang mengikuti
proses pendidikan formal yang menghabiskan banyak waktu tersebut, banyak
peserta didik yang mengikuti lembaga pendidikan informal lain seperti
les akademis, bahasa, dan sebagainya. Jelas juga terlihat, bahwa proses
pendidikan yang lama tersebut tidak efektif juga, karena peserta didik
akhirnya mengikuti pendidikan informal untuk melengkapi pendidikan
formal yang dinilai kurang.
Selain itu, masalah lain efisiensi pengajaran yang akan kami bahas
adalah mutu pengajar. Kurangnya mutu pengajar jugalah yang menyebabkan
peserta didik kurang mencapai hasil yang diharapkan dan akhirnya
mengambil pendidikan tambahan yang juga membutuhkan uang lebih.
Yang kami lihat, kurangnya mutu pengajar disebabkan oleh pengajar
yang mengajar tidak pada kompetensinya. Misalnya saja, pengajar A
mempunyai dasar pendidikan di bidang bahasa, namun di mengajarkan
keterampilan, yang sebenarnya bukan kompetensinya. Hal-tersebut
benar-benar terjadi jika kita melihat kondisi pendidikan di lapangan
yang sebanarnya. Hal lain adalah pendidik tidak dapat mengomunikasikan
bahan pengajaran dengan baik, sehingga mudah dimengerti dan menbuat
tertarik peserta didik.
Sistem pendidikan yang baik juga berperan penting dalam meningkatkan
efisiensi pendidikan di Indonesia. Sangat disayangkan juga sistem
pendidikan kita berubah-ubah sehingga membingungkan pendidik dan peserta
didik.
Dalam beberapa tahun belakangan ini, kita menggunakan sistem
pendidikan kurikulum 1994, kurikulum 2004, kurikulum berbasis kompetensi
yang pengubah proses pengajaran menjadi proses pendidikan aktif, hingga
kurikulum baru lainnya. Ketika mengganti kurikulum, kita juga mengganti
cara pendidikan pengajar, dan pengajar harus diberi pelatihan terlebih
dahulu yang juga menambah cost biaya pendidikan. Sehingga amat
disayangkan jika terlalu sering mengganti kurikulum yang dianggap kuaran
efektif lalu langsung menggantinya dengan kurikulum yang dinilai lebih
efektif.
Konsep efisiensi akan tercipta jika keluaran yang diinginkan dapat
dihasilkan secara optimal dengan hanya masukan yang relative tetap, atau
jika masukan yang sekecil mungkin dapat menghasilkan keluaran yang
optimal. Konsep efisiensi sendiri terdiri dari efisiensi teknologis dan
efisiensi ekonomis. Efisiensi teknologis diterapkan dalam pencapaian
kuantitas keluaran secara fisik sesuai dengan ukuran hasil yang sudah
ditetapkan. Sementara efisiensi ekonomis tercipta jika ukuran nilai
kepuasan atau harga sudah diterapkan terhadap keluaran.
Konsep efisiensi selalu dikaitkan dengan efektivitas. Efektivitas
merupakan bagian dari konsep efisiensi karena tingkat efektivitas
berkaitan erat dengan pencapaian tujuan relative terhadap harganya.
Apabila dikaitkan dengan dunia pendidikan, maka suatu program pendidikan
yang efisien cenderung ditandai dengan pola penyebaran dan
pendayagunaansumber-sumber pendidikan yang sudah ditata secara efisien.
Program pendidikan yang efisien adalah program yang mampu menciptakan
keseimbangan antara penyediaan dan kebutuhan akan sumber-sumber
pendidikan sehingga upaya pencapaian tujuan tidak mengalami hambatan.
3. Standardisasi Pendidikan Di Indonesia
Jika kita ingin meningkatkan mutu pendidikan di Indonesia, kita juga
berbicara tentang standardisasi pengajaran yang kita ambil. Tentunya
setelah melewati proses untuk menentukan standar yang akan diambil.
Dunia pendidikan terus berudah. Kompetensi yang dibutuhka oleh
masyarakat terus-menertus berunah apalagi di dalam dunia terbuka yaitu
di dalam dunia modern dalam ere globalisasi. Kompetendi-kompetensi yang
harus dimiliki oleh seseorang dalam lembaga pendidikan haruslah memenuhi
standar.
Seperti yang kita lihat sekarang ini, standar dan kompetensi dalam
pendidikan formal maupun informal terlihat hanya keranjingan terhadap
standar dan kompetensi. Kualitas pendidikan diukur oleh standard an
kompetensi di dalam berbagai versi, demikian pula sehingga dibentuk
badan-badan baru untuk melaksanakan standardisasi dan kompetensi
tersebut seperti Badan Standardisasi Nasional Pendidikan (BSNP).
Tinjauan terhadap standardisasi dan kompetensi untuk meningkatkan
mutu pendidikan akhirnya membawa kami dalam pengunkapan adanya bahaya
yang tersembunyi yaitu kemungkinan adanya pendidikan yang terkekung oleh
standar kompetensi saja sehngga kehilangan makna dan tujuan pendidikan
tersebut.
Peserta didik Indonesia terkadang hanya memikirkan bagaiman agar
mencapai standar pendidikan saja, bukan bagaimana agar pendidikan yang
diambil efektif dan dapat digunakan. Tidak perduli bagaimana cara agar
memperoleh hasil atau lebih spesifiknya nilai yang diperoleh, yang
terpentinga adalah memenuhi nilai di atas standar saja.
Hal seperti di atas sangat disayangkan karena berarti pendidikan
seperti kehilangan makna saja karena terlalu menuntun standar
kompetensi. Hal itu jelas salah satu penyebab rendahnya mutu pendidikan
di Indonesia.
Selain itu, akan lebih baik jika kita mempertanyakan kembali apakah
standar pendidikan di Indonesia sudah sesuai atau belum. Dalam kasus UAN
yang hampir selalu menjadi kontrofesi misalnya. Kami menilai adanya
sistem evaluasi seperti UAN sudah cukup baik, namun yang kami sayangkan
adalah evaluasi pendidikan seperti itu yang menentukan lulus tidaknya
peserta didik mengikuti pendidikan, hanya dilaksanakan sekali saja tanpa
melihat proses yang dilalu peserta didik yang telah menenpuh proses
pendidikan selama beberapa tahun. Selain hanya berlanhsug sekali,
evaluasi seperti itu hanya mengevaluasi 3 bidang studi saja tanpa
mengevaluasi bidang studi lain yang telah didikuti oleh peserta didik.
Banyak hal lain juga yang sebenarnya dapat kami bahas dalam
pembahasan sandardisasi pengajaran di Indonesia. Juga permasalahan yang
ada di dalamnya, yang tentu lebih banyak, dan membutuhkan penelitian
yang lebih dalam lagi
Penyebab rendahnya mutu pendidikan di Indonesia juga tentu tidah
hanya sebatas yang kami bahas di atas. Banyak hal yang menyebabkan
rendahnya mutu pendidikan kita. Tentunya hal seperti itu dapat kita
temukan jika kita menggali lebih dalam akar permasalahannya. Dan semoga
jika kita mengetehui akar permasalahannya, kita dapat memperbaiki mutu
pendidikan di Indonesia sehingga jadi kebih baik lagi.
Selain beberapa penyebab rendahnya kualitas pendidikan di atas,
berikut ini akan dipaparkan pula secara khusus beberapa masalah yang
menyebabkan rendahnya kualitas pendidikan di Indonesia.
1. Rendahnya Kualitas Sarana Fisik
Untuk sarana fisik misalnya, banyak sekali sekolah dan perguruan
tinggi kita yang gedungnya rusak, kepemilikan dan penggunaan media
belajar rendah, buku perpustakaan tidak lengkap. Sementara laboratorium
tidak standar, pemakaian teknologi informasi tidak memadai dan
sebagainya. Bahkan masih banyak sekolah yang tidak memiliki gedung
sendiri, tidak memiliki perpustakaan, tidak memiliki laboratorium dan
sebagainya.
Data Balitbang Depdiknas (2003) menyebutkan untuk satuan SD terdapat
146.052 lembaga yang menampung 25.918.898 siswa serta memiliki 865.258
ruang kelas. Dari seluruh ruang kelas tersebut sebanyak 364.440 atau
42,12% berkondisi baik, 299.581 atau 34,62% mengalami kerusakan ringan
dan sebanyak 201.237 atau 23,26% mengalami kerusakan berat. Kalau
kondisi MI diperhitungkan angka kerusakannya lebih tinggi karena kondisi
MI lebih buruk daripada SD pada umumnya. Keadaan ini juga terjadi di
SMP, MTs, SMA, MA, dan SMK meskipun dengan persentase yang tidak sama.
2. Rendahnya Kualitas Guru
Keadaan guru di Indonesia juga amat memprihatinkan. Kebanyakan guru
belum memiliki profesionalisme yang memadai untuk menjalankan tugasnya
sebagaimana disebut dalam pasal 39 UU No 20/2003 yaitu merencanakan
pembelajaran, melaksanakan pembelajaran, menilai hasil pembelajaran,
melakukan pembimbingan, melakukan pelatihan, melakukan penelitian dan
melakukan pengabdian masyarakat.
Bukan itu saja, sebagian guru di Indonesia bahkan dinyatakan tidak
layak mengajar. Persentase guru menurut kelayakan mengajar dalam tahun
2002-2003 di berbagai satuan pendidikan sbb: untuk SD yang layak
mengajar hanya 21,07% (negeri) dan 28,94% (swasta), untuk SMP 54,12%
(negeri) dan 60,99% (swasta), untuk SMA 65,29% (negeri) dan 64,73%
(swasta), serta untuk SMK yang layak mengajar 55,49% (negeri) dan 58,26%
(swasta).
Kelayakan mengajar itu jelas berhubungan dengan tingkat pendidikan
guru itu sendiri. Data Balitbang Depdiknas (1998) menunjukkan dari
sekitar 1,2 juta guru SD/MI hanya 13,8% yang berpendidikan diploma
D2-Kependidikan ke atas. Selain itu, dari sekitar 680.000 guru SLTP/MTs
baru 38,8% yang berpendidikan diploma D3-Kependidikan ke atas. Di
tingkat sekolah menengah, dari 337.503 guru, baru 57,8% yang memiliki
pendidikan S1 ke atas. Di tingkat pendidikan tinggi, dari 181.544 dosen,
baru 18,86% yang berpendidikan S2 ke atas (3,48% berpendidikan S3).
Walaupun guru dan pengajar bukan satu-satunya faktor penentu
keberhasilan pendidikan tetapi, pengajaran merupakan titik sentral
pendidikan dan kualifikasi, sebagai cermin kualitas, tenaga pengajar
memberikan andil sangat besar pada kualitas pendidikan yang menjadi
tanggung jawabnya. Kualitas guru dan pengajar yang rendah juga
dipengaruhi oleh masih rendahnya tingkat kesejahteraan guru.
3. Rendahnya Kesejahteraan Guru
Rendahnya kesejahteraan guru mempunyai peran dalam membuat rendahnya
kualitas pendidikan Indonesia. Berdasarkan survei FGII (Federasi Guru
Independen Indonesia) pada pertengahan tahun 2005, idealnya seorang guru
menerima gaji bulanan serbesar Rp 3 juta rupiah. Sekarang, pendapatan
rata-rata guru PNS per bulan sebesar Rp 1,5 juta. guru bantu Rp, 460
ribu, dan guru honorer di sekolah swasta rata-rata Rp 10 ribu per jam.
Dengan pendapatan seperti itu, terang saja, banyak guru terpaksa
melakukan pekerjaan sampingan. Ada yang mengajar lagi di sekolah lain,
memberi les pada sore hari, menjadi tukang ojek, pedagang mie rebus,
pedagang buku/LKS, pedagang pulsa ponsel, dan sebagainya (Republika, 13
Juli, 2005).
Dengan adanya UU Guru dan Dosen, barangkali kesejahteraan guru dan
dosen (PNS) agak lumayan. Pasal 10 UU itu sudah memberikan jaminan
kelayakan hidup. Di dalam pasal itu disebutkan guru dan dosen akan
mendapat penghasilan yang pantas dan memadai, antara lain meliputi gaji
pokok, tunjangan yang melekat pada gaji, tunjangan profesi, dan/atau
tunjangan khusus serta penghasilan lain yang berkaitan dengan tugasnya.
Mereka yang diangkat pemkot/pemkab bagi daerah khusus juga berhak atas
rumah dinas.
Tapi, kesenjangan kesejahteraan guru swasta dan negeri menjadi
masalah lain yang muncul. Di lingkungan pendidikan swasta, masalah
kesejahteraan masih sulit mencapai taraf ideal. Diberitakan Pikiran
Rakyat 9 Januari 2006, sebanyak 70 persen dari 403 PTS di Jawa Barat dan
Banten tidak sanggup untuk menyesuaikan kesejahteraan dosen sesuai
dengan amanat UU Guru dan Dosen (Pikiran Rakyat 9 Januari 2006).
4. Rendahnya Prestasi Siswa
Dengan keadaan yang demikian itu (rendahnya sarana fisik, kualitas
guru, dan kesejahteraan guru) pencapaian prestasi siswa pun menjadi
tidak memuaskan. Sebagai misal pencapaian prestasi fisika dan matematika
siswa Indonesia di dunia internasional sangat rendah. Menurut Trends in
Mathematic and Science Study (TIMSS) 2003 (2004), siswa Indonesia hanya
berada di ranking ke-35 dari 44 negara dalam hal prestasi matematika
dan di ranking ke-37 dari 44 negara dalam hal prestasi sains. Dalam hal
ini prestasi siswa kita jauh di bawah siswa Malaysia dan Singapura
sebagai negara tetangga yang terdekat.
Dalam hal prestasi, 15 September 2004 lalu United Nations for
Development Programme (UNDP) juga telah mengumumkan hasil studi tentang
kualitas manusia secara serentak di seluruh dunia melalui laporannya
yang berjudul Human Development Report 2004. Di dalam laporan tahunan
ini Indonesia hanya menduduki posisi ke-111 dari 177 negara. Apabila
dibanding dengan negara-negara tetangga saja, posisi Indonesia berada
jauh di bawahnya.
Dalam skala internasional, menurut Laporan Bank Dunia (Greaney,1992),
studi IEA (Internasional Association for the Evaluation of Educational
Achievement) di Asia Timur menunjukan bahwa keterampilan membaca siswa
kelas IV SD berada pada peringkat terendah. Rata-rata skor tes membaca
untuk siswa SD: 75,5 (Hongkong), 74,0 (Singapura), 65,1 (Thailand), 52,6
(Filipina), dan 51,7 (Indonesia).
Anak-anak Indonesia ternyata hanya mampu menguasai 30% dari materi
bacaan dan ternyata mereka sulit sekali menjawab soal-soal berbentuk
uraian yang memerlukan penalaran. Hal ini mungkin karena mereka sangat
terbiasa menghafal dan mengerjakan soal pilihan ganda.
Selain itu, hasil studi The Third International Mathematic and
Science Study-Repeat-TIMSS-R, 1999 (IEA, 1999) memperlihatkan bahwa,
diantara 38 negara peserta, prestasi siswa SLTP kelas 2 Indonesia berada
pada urutan ke-32 untuk IPA, ke-34 untuk Matematika. Dalam dunia
pendidikan tinggi menurut majalah Asia Week dari 77 universitas yang
disurvai di asia pasifik ternyata 4 universitas terbaik di Indonesia
hanya mampu menempati peringkat ke-61, ke-68, ke-73 dan ke-75.
5. Kurangnya Pemerataan Kesempatan Pendidikan
Kesempatan memperoleh pendidikan masih terbatas pada tingkat Sekolah
Dasar. Data Balitbang Departemen Pendidikan Nasional dan Direktorat
Jenderal Binbaga Departemen Agama tahun 2000 menunjukan Angka
Partisipasi Murni (APM) untuk anak usia SD pada tahun 1999 mencapai
94,4% (28,3 juta siswa). Pencapaian APM ini termasuk kategori tinggi.
Angka Partisipasi Murni Pendidikan di SLTP masih rendah yaitu 54, 8%
(9,4 juta siswa). Sementara itu layanan pendidikan usia dini masih
sangat terbatas. Kegagalan pembinaan dalam usia dini nantinya tentu akan
menghambat pengembangan sumber daya manusia secara keseluruhan. Oleh
karena itu diperlukan kebijakan dan strategi pemerataan pendidikan yang
tepat untuk mengatasi masalah ketidakmerataan tersebut.
6. Rendahnya Relevansi Pendidikan Dengan Kebutuhan
Hal tersebut dapat dilihat dari banyaknya lulusan yang menganggur.
Data BAPPENAS (1996) yang dikumpulkan sejak tahun 1990 menunjukan angka
pengangguran terbuka yang dihadapi oleh lulusan SMU sebesar 25,47%,
Diploma/S0 sebesar 27,5% dan PT sebesar 36,6%, sedangkan pada periode
yang sama pertumbuhan kesempatan kerja cukup tinggi untuk masing-masing
tingkat pendidikan yaitu 13,4%, 14,21%, dan 15,07%. Menurut data
Balitbang Depdiknas 1999, setiap tahunnya sekitar 3 juta anak putus
sekolah dan tidak memiliki keterampilan hidup sehingga menimbulkan
masalah ketenagakerjaan tersendiri. Adanya ketidakserasian antara hasil
pendidikan dan kebutuhan dunia kerja ini disebabkan kurikulum yang
materinya kurang funsional terhadap keterampilan yang dibutuhkan ketika
peserta didik memasuki dunia kerja.
7. Mahalnya Biaya Pendidikan
Pendidikan bermutu itu mahal. Kalimat ini sering muncul untuk
menjustifikasi mahalnya biaya yang harus dikeluarkan masyarakat untuk
mengenyam bangku pendidikan. Mahalnya biaya pendidikan dari Taman
Kanak-Kanak (TK) hingga Perguruan Tinggi (PT) membuat masyarakat miskin
tidak memiliki pilihan lain kecuali tidak bersekolah. Orang miskin tidak
boleh sekolah.
Untuk masuk TK dan SDN saja saat ini dibutuhkan biaya Rp 500.000, —
sampai Rp 1.000.000. Bahkan ada yang memungut di atas Rp 1 juta. Masuk
SLTP/SLTA bisa mencapai Rp 1 juta sampai Rp 5 juta.
Makin mahalnya biaya pendidikan sekarang ini tidak lepas dari
kebijakan pemerintah yang menerapkan MBS (Manajemen Berbasis Sekolah).
MBS di Indonesia pada realitanya lebih dimaknai sebagai upaya untuk
melakukan mobilisasi dana. Karena itu, Komite Sekolah/Dewan Pendidikan
yang merupakan organ MBS selalu disyaratkan adanya unsur pengusaha.
Asumsinya, pengusaha memiliki akses atas modal yang lebih luas.
Hasilnya, setelah Komite Sekolah terbentuk, segala pungutan uang selalu
berkedok, “sesuai keputusan Komite Sekolah”. Namun, pada tingkat
implementasinya, ia tidak transparan, karena yang dipilih menjadi
pengurus dan anggota Komite Sekolah adalah orang-orang dekat dengan
Kepala Sekolah. Akibatnya, Komite Sekolah hanya menjadi legitimator
kebijakan Kepala Sekolah, dan MBS pun hanya menjadi legitimasi dari
pelepasan tanggung jawab negara terhadap permasalahan pendidikan
rakyatnya.
Kondisi ini akan lebih buruk dengan adanya RUU tentang Badan Hukum
Pendidikan (RUU BHP). Berubahnya status pendidikan dari milik publik ke
bentuk Badan Hukum jelas memiliki konsekuensi ekonomis dan politis amat
besar. Dengan perubahan status itu Pemerintah secara mudah dapat
melemparkan tanggung jawabnya atas pendidikan warganya kepada pemilik
badan hukum yang sosoknya tidak jelas. Perguruan Tinggi Negeri pun
berubah menjadi Badan Hukum Milik Negara (BHMN). Munculnya BHMN dan MBS
adalah beberapa contoh kebijakan pendidikan yang kontroversial. BHMN
sendiri berdampak pada melambungnya biaya pendidikan di beberapa
Perguruan Tinggi favorit.
Privatisasi atau semakin melemahnya peran negara dalam sektor
pelayanan publik tak lepas dari tekanan utang dan kebijakan untuk
memastikan pembayaran utang. Utang luar negeri Indonesia sebesar 35-40
persen dari APBN setiap tahunnya merupakan faktor pendorong privatisasi
pendidikan. Akibatnya, sektor yang menyerap pendanaan besar seperti
pendidikan menjadi korban. Dana pendidikan terpotong hingga tinggal 8
persen (Kompas, 10/5/2005).
Dari APBN 2005 hanya 5,82% yang dialokasikan untuk pendidikan.
Bandingkan dengan dana untuk membayar hutang yang menguras 25% belanja
dalam APBN (www.kau.or.id).
Rencana Pemerintah memprivatisasi pendidikan dilegitimasi melalui
sejumlah peraturan, seperti Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional,
RUU Badan Hukum Pendidikan, Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) tentang
Pendidikan Dasar dan Menengah, dan RPP tentang Wajib Belajar. Penguatan
pada privatisasi pendidikan itu, misalnya, terlihat dalam Pasal 53 (1)
UU No 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas). Dalam
pasal itu disebutkan, penyelenggara dan/atau satuan pendidikan formal
yang didirikan oleh Pemerintah atau masyarakat berbentuk badan hukum
pendidikan.
Seperti halnya perusahaan, sekolah dibebaskan mencari modal untuk
diinvestasikan dalam operasional pendidikan. Koordinator LSM Education
Network for Justice (ENJ), Yanti Mukhtar (Republika, 10/5/2005) menilai
bahwa dengan privatisasi pendidikan berarti Pemerintah telah
melegitimasi komersialisasi pendidikan dengan menyerahkan tanggung jawab
penyelenggaraan pendidikan ke pasar. Dengan begitu, nantinya sekolah
memiliki otonomi untuk menentukan sendiri biaya penyelenggaraan
pendidikan. Sekolah tentu saja akan mematok biaya setinggi-tingginya
untuk meningkatkan dan mempertahankan mutu. Akibatnya, akses rakyat yang
kurang mampu untuk menikmati pendidikan berkualitas akan terbatasi dan
masyarakat semakin terkotak-kotak berdasarkan status sosial, antara yang
kaya dan miskin.
Hal senada dituturkan pengamat ekonomi Revrisond Bawsir. Menurut dia,
privatisasi pendidikan merupakan agenda Kapitalisme global yang telah
dirancang sejak lama oleh negara-negara donor lewat Bank Dunia. Melalui
Rancangan Undang-Undang Badan Hukum Pendidikan (RUU BHP), Pemerintah
berencana memprivatisasi pendidikan. Semua satuan pendidikan kelak akan
menjadi badan hukum pendidikan (BHP) yang wajib mencari sumber dananya
sendiri. Hal ini berlaku untuk seluruh sekolah negeri, dari SD hingga
perguruan tinggi.
Bagi masyarakat tertentu, beberapa PTN yang sekarang berubah status
menjadi Badan Hukum Milik Negara (BHMN) itu menjadi momok. Jika
alasannya bahwa pendidikan bermutu itu harus mahal, maka argumen ini
hanya berlaku di Indonesia. Di Jerman, Prancis, Belanda, dan di beberapa
negara berkembang lainnya, banyak perguruan tinggi yang bermutu namun
biaya pendidikannya rendah. Bahkan beberapa negara ada yang
menggratiskan biaya pendidikan.
Pendidikan berkualitas memang tidak mungkin murah, atau tepatnya,
tidak harus murah atau gratis. Tetapi persoalannya siapa yang seharusnya
membayarnya? Pemerintahlah sebenarnya yang berkewajiban untuk menjamin
setiap warganya memperoleh pendidikan dan menjamin akses masyarakat
bawah untuk mendapatkan pendidikan bermutu. Akan tetapi, kenyataannya
Pemerintah justru ingin berkilah dari tanggung jawab. Padahal
keterbatasan dana tidak dapat dijadikan alasan bagi Pemerintah untuk
‘cuci tangan’.
D. Solusi dari Permasalahan-permasalahan Pendidikan di Indonesia
Untuk mengatasi masalah-masalah di atas, secara garis besar ada dua solusi yang dapat diberikan yaitu:
Pertama, solusi sistemik, yakni solusi dengan mengubah sistem-sistem
sosial yang berkaitan dengan sistem pendidikan. Seperti diketahui sistem
pendidikan sangat berkaitan dengan sistem ekonomi yang diterapkan.
Sistem pendidikan di Indonesia sekarang ini, diterapkan dalam konteks
sistem ekonomi kapitalisme (mazhab neoliberalisme), yang berprinsip
antara lain meminimalkan peran dan tanggung jawab negara dalam urusan
publik, termasuk pendanaan pendidikan.
Maka, solusi untuk masalah-masalah yang ada, khususnya yang
menyangkut perihal pembiayaan –seperti rendahnya sarana fisik,
kesejahteraan guru, dan mahalnya biaya pendidikan– berarti menuntut juga
perubahan sistem ekonomi yang ada. Akan sangat kurang efektif kita
menerapkan sistem pendidikan Islam dalam atmosfer sistem ekonomi
kapitalis yang kejam. Maka sistem kapitalisme saat ini wajib dihentikan
dan diganti dengan sistem ekonomi Islam yang menggariskan bahwa
pemerintah-lah yang akan menanggung segala pembiayaan pendidikan negara.
Kedua, solusi teknis, yakni solusi yang menyangkut hal-hal teknis
yang berkait langsung dengan pendidikan. Solusi ini misalnya untuk
menyelesaikan masalah kualitas guru dan prestasi siswa.
Maka, solusi untuk masalah-masalah teknis dikembalikan kepada
upaya-upaya praktis untuk meningkatkan kualitas sistem pendidikan.
Rendahnya kualitas guru, misalnya, di samping diberi solusi peningkatan
kesejahteraan, juga diberi solusi dengan membiayai guru melanjutkan ke
jenjang pendidikan yang lebih tinggi, dan memberikan berbagai pelatihan
untuk meningkatkan kualitas guru. Rendahnya prestasi siswa, misalnya,
diberi solusi dengan meningkatkan kualitas dan kuantitas materi
pelajaran, meningkatkan alat-alat peraga dan sarana-sarana pendidikan,
dan sebagainya
Tidak ada komentar:
Posting Komentar